Taman Nasional Tanjung Puting

Pertengahan Oktober ini, kabut asap masih menjadi isu yang terus mengusik. Jangankan untuk mereka yang ada di daerah yang terkena langsung, kita yang ada di tempat jauh seperti Jakarta gerah dan kesal rasanya melihat saudara-saudara kita yang menjadi korban. Dan ini tidak hanya berdampak pada manusia, tapi juga makhluk hidup lain seperti binatang yang tinggal di hutan salah satunya ya orangutan di Kalimantan. Tapi kabut asap ini tidak membuat kami mundur, karena rencana ke Tanjung Puting sudah menjadi wacana trip bersama keluarga sejak lama, kakak saya juga kebetulan tinggal di daerah Kalteng. Dan pingin merasakan sendiri gimana rasanya menghirup kabut asap setiap hari sampai berbulan-bulan sambil berharap ada tindakan nyata dari pemerintah. Akhirnya jadilah trip Borneo edisi Oktober ini.

Saya cukup antusias untuk membuat blog tentang Tanjung Puting ini karena salah satu taman nasional milik negara tercinta ini sepertinya kurang populer di kalangan masyarakat Indonesia sendiri. Thanks to Dr. Birute Galdikas yang telah mewujudkan impiannya untuk meneliti dan melakukan konservasi pada salah satu primata yang sudah hampir punah yaitu Orangutan. Dan ini satwa endemik yang hanya ada di negara kita lho...tepatnya di Sumatera dan Kalimantan. Tanpa perjuangan Dr. Galdikas belum tentu kita masih bisa melihat dan mengenal hutan tropis dengan kekayaan flora dan fauna serta berbagai satwa langka di Tanjung Puting ini, apalagi dengan masihnya pemanfaatan hutan untuk kebutuhan ekonomi manusia saat ini. Di sini jarang sekali ada wisatawan lokal alias orang Indonesia. Warga kota setempat pun lebih bayak yang belum pernah ke sini. Saat kami berkunjung, hanya keluarga kami dan para pemandu menjadi wajah-wajah lokal yang tampak di antara wajah para bule dan turis Jepang atau Korea yang memang kebanyakan mengunjungi tempat ini. Kira-kira kenapa ya? Apa karena dianggap biayanya mahal? menurut saya relatif tidak, karena banyak turisme lain yang lebih berbiaya tinggi apalagi ke luar negeri juga dilakoni. Kesimpulan sementara saya sih memang karena informasi dan promosi yang kurang, serta ecotourism memang belum begitu menarik bagi wisatawan lokal, terutama yang kurang jiwa petualangan.

Dermaga Kumai
Untuk perjalanan dari Jakarta ke kota bandara terdekat Pangkalan Bun, kita bisa menggunakan maskapai Trigana atau Kalstar, harga tiket sekali jalan sekitar Rp 600 ribu an sekali jalan. Dari Pangkalan Bun untuk langsung menuju Tanjung Puting, maka kita harus sewa taxi atau mobil ke dermaga Kumai. Jaraknya cukup dekat hanya 20-30 menit perjalanan, dengan ongkos taxi Rp 150 ribu an. Tiba di pelabuhan yang juga kantor Balai Taman Nasional Tanjung Puting ini sudah terlihat perahu Klotok yang bersandar menanti penumpang. Sabaiknya sebelum tiba di sini sudah membuat reservasi untuk sewa Klotok. Mereka menawarkan paket per orang (harga bervariasi biasanya mulai dari Rp 2 juta per orang untuk 3D trip lengkap dengan makan dan pemandu) atau bisa juga hanya sewa klotoknya (untuk sewa klotok saja saya tidak ada informasi pasti, tapi sempat dapat penawaran Rp 3 juta sehari). Jadi kalau ada waktu banyak dan budget cukup, memang pakai paket akan lebih praktis, tapi kalau hanya ada waktu sehari sebaiknya tidak ambil paket. Selain klotok, untuk perjalanan singkat kita juga bisa sewa speed boat. Biaya sewa berkisar Rp 800 - 900 ribu untuk maximal 3 pengunjung. Kami juga menggunakan speed boat ini mengingat hanya ada waktu sehari trip, berangkat pagi pulang sore. Speed boat juga 4-5 kali leih cepat daripada klotok sehingga kita bisa lebih cepat sampai di port tujuan. Tapi kekurangannya tentu tidak sesantai menggunakan klotok untuk menikmati pemandangan di sepanjang sungai Sekonyer.

Sebelum naik speed ataupun klotok, kita harus membeli tiket masuk di kantor BTNTP di dermaga Kumai ini. Harga tiket masuk untuk wisatawan lokal Rp 5000 weekdays dan Rp 7500 weekend, sedangkan untuk wisatawan lokal Rp 100.000 per orang, jauh banget yaa. Terus ada juga biaya parkir speed boat Rp 100.000 per boat, kalau klotok mungkin beda tapi saya tidak memperhatikan berapa. Untuk sistem paket biasanya ini sudah diuruskan penyelenggara semua. Oh iya, untuk di TNTP ini ada aturan resmi bahwa kita harus dipandu oleh guide yang sudah terdaftar, meskipun buat mereka yang sudah sering ke sini. Ongkos guide sekitar Rp 300 ribu untuk trip sehari dan cukup 1 guide per rombongan.

Dari dermaga ini kita akan menyusuri muara dan melihat pelabuhan Kumai tempat bersandarnya kapal penumpang besar dari dan ke pulau Jawa. Lepas dari muara sungai Kumai, baru kita masuki sungai Sekonyer dengan pemandangan pohon Nipah di sepanjang tepiannya. Semakin masuk ke hutan lebar sungai akan semakin menyempit dan vegetasi tumbuhan di sekitarnya semakin beragam. Jangan kaget dan bisa dibilang beruntung kalau kita bertemu buaya yang sesekali menyembulkan kepalanya di atas air, karena populasi buaya memang masih banyak di sungai ini. Saya juga sempat melihat langsung, tapi sayang terlambat untuk mengambil fotonya. Biasanya buaya akan menghindar saat mendengar bunyi perahu kita.

Sungai Sekonyer


Speed boat dan klotok membelah sungai Sekonyer
Pos pertama yang kita masuki adalah Tanjung Harapan. Di sini boat harus berhenti untuk stempel tiket karena ini merupakan pintu masuk ke TNTP. Bila kita puya waktu bisa jalan masuk ke dalam hutan. Tapi karena waktu feeding di sini baru jam 3 sore sementara saya tiba masih jam 12, maka kami langsung melanjutkan perjalanan setelah stempel tiket. Di sini kami juga bertemu relawan yang datang untuk memadamkan asap di kawasan Tanjung Harapan. Merekalah pahlawan penjaga hutan dan Orangutan yang tidak mengharap popularitas dan nama.

Pos kedua yang biasa dikunjungi juga adalah camp Tanggui, tapi saat saya ke sana spot ini sedang ditutup sehingga kami teruskan perjalanan, dan berhenti sejenak di dermaga Pondok Ambung untuk sekedar singgah dan memakan perbekalan sebelum menacapai tujuan terakhir kami di Camp Leakey. Di sini juga ada ecolodge dan stasiun penelitian hutan tropis milik kementrian kehutanan.

Dermaga Pondok Ambung

Papan informasi
Tidak lama setelah melanjutkan perjalanan dari pondok ambung, tibalah kami di pos Camp Leakey. Saat kami tiba, sudah banyak perahu klotok parkir di dermaga Camp Leaky dan terlihat pengunjung sedang menikmati makan siang di atas klotok (semua turis asing!). Sempat takjub karena kami langsung disambut orangutan di tepi sungai. Perjalanan mulai dari dermaga Kumai sampai ke Camp Leakey dengan speed boat ditempuh selama sekitar 1,5 jam.


disambut seekor Orangutan di seberang sungai
Di sini kita senantiasa diperingkatkan agar tidak berisik dan tidak memberi makan dan menyentuh orangutan. Tanda yang akan sering kita lihat "Silence, Respect Orangutan!". Dari dermaga kita lanjut trekking ke dalam feeding ground. Sebelumya kita akan melewati titian kayu sepanjang sekitar 200 m dan akan bertemu sebuah bangunan yang merupakan pusat informasi. Kita 'wajib' masuk ke sini untuk menambah informasi dan wawasan tentang Orangutan dan Tanjung Puting. Nama camp Leakey diambil dari nama Dr. Louis Leakey, seorang paleoanthropologist yang menjadi mentor Dr. Gladikas dalam penelitan terhadap Orangutan.

Gate Camp Leakey (abaikan orang di bawahnya)

Di pusat informasi akan kita jumpai berbagai artefak dan foto-foto Orangutan serta silsilahnya. Salah satu foto yang membuat saya melo adalah foto bayi anak Dr. Gladikas dengan bayi orangutan bernama Princess, yang menjadi cover majalah National Geographic tahun 80-an.

Sang doktor bersama sahabatnya dan anaknya bersama bayi Orangutan
Selain itu juga ada foto silsilah keluarga Orangutan yang pernah ada di penangkaran. Orangutan ini menganut garis ibu (mungkin karena tidak jelas siapa bapaknya) sehingga nama anak pasti huruf depannya sama dengan nama ibunya.

Silsilah keluarga Unyuk

Kami sempat bertanya-tanya pada mbak penjaga pusat informasi yang dulunya sepertinya ranger wanita di sini dan sudah mengabdikan diri di hutan ini sampai punya anak juga, seperti Dr Gladikas. Sepertinya mbak ini seneng juga dengan kedatangan turis lokal karena mostly yang datang bule.

Dari pusat informasi kami lanjut trekking ke dalam lagi menuju feeding ground. Jadwal feeding di camp Leaky adalah jam 2 sampai jam 4 sore. Perjalanan di hutan yang masih asli dan lebat meskipun masih tercium sedikit aroma kabut asap menjadi pengalaman luar biasa bagi kami. Plus ada pengalaman lucu di mana kami diikuti babi hutan mulai pusat informasi sampai ke feeding ground. Sempat takut karena baru ini begitu dekat dengan babi hutan liar, padahal dia sendiri takut sama manusia. Dan kebetulan tujuannya sama ke feeding ground, untuk mencari sisa makanan orangutan seperti kulit pisang yang sudah dimakan.


Sampai di feeding ground kami menanti ranger yang akan memberi makan sesuai jadwal, sambil berteriak memanggil orangutan. Dan hanya dari panggilan ranger itu mereka bisa dipancing keluar ke feeding ground, karena memang sudah terbiasa berkomunikasi. Para ranger juga sudah hafal wajah2 orangutan dan nama mereka masing-masing. Tidak lama setelah pisang dan susu dikeluarkan, seekor kera gabon keluar mengambil pisang mendahului orangutan lain. Baru kemudian menyusul orangutan lain. Biasanya mereka bergiliran bersama keluarga atau kelompoknya, dan sang betina malas keluar ketika ada pejantan seperti gatewade yang kami temui, sedang mendominasi makanan. Baru setelah gatewade pergi orangutan lain datang.

makan bersama

dine-in is not enough, have it take away
Kami sempat disuguhi drama ketika keluarga orangutan Ibu bernama Tata, anaknya bernama Tiga dan anak bayinya, harus menyudahi makannya karena ada betina lain yang mau masuk ke panggung. Sepertinya si Tiga belum puas dan kenyang tapi sudah diseret induknya pergi karena menghindari serangan betina lain sehingga dia merajuk dan nangis di pepohonan yang masih dekat tempat duduk kami.

Tiga menangis dengan tampangnya yang lucu
Senang rasanya melihat orangutan yang sedang hamil dan punya bayi, berarti upaya pengembangbiakan dan konservasi hewan yang hampir punah ini semakin memberi harapan.
Setelah puas melihat feeding ground kami kembali ke arah dermaga. Mendekati dermaga kami bertemu dengan orangutan Siswi, penghuni lama yang usianya sudah 40 tahun an. Usia orangutan sama dengan manusia yaitu sekitar 60-70 tahun. Siswi sangat terbiasa dengan kehadiran manusia, bahkan sering meniru tingkah polah manusia seperti minum kopi ditiup, dan makan mie.



Dari pos camp leakey kami kembali pulang, setelah menikmati pengalaman luar biasa bersama orangutan atau man of the forest, menambah pengetahuan, menyatu dengan alam. Namun pengalaman dan pemandangan di perjalanan masih berlanjut, di tepi sungai kami bertemu Bekantan atau probiscus monkey yang juga merupakan satwa endemik Kalimantan yang hampir punah. Monyet berbulu oranye dan berhidung mancung ini juga sering disebut monyet bule. Mereka biasa terlihat 'nongkrong' ketika senja.

Bekantan - sang raja di tengah
Ini pengalaman pertama saya melihat bekantan live, dan langsung dari habitatnya. Bekantan termasuk monyet yang paling pandai berenang, dan dia sering menyeberangi sungai Sekonyer yang selebar itu. Biasanya mereka menunggu perahu lewat karena saat itu buaya yang menjadi musuhnya akan minggir. Cerdas ya.

Inilah unforgettable journey dan petualangan yang akan selalu berkesan. Semoga teman-teman yang petualangan juga bisa menikmatinya. Mengutip tulisan seorang photo journalist Dhanang P. "Travelling menjadi guru yang paling sabar, pintar, dan terkadang killer, tetapi percaya bahwa itu untuk kebaikan dan pembentukan karakter"

Perjalanan kami berlanjut ke Tanjung keluang, masih di area Kumai tanah Kalimantan Tengah. Semoga sempat saya tuliskan.

Komentar

  1. kereeeen!!!
    boleh minta contact person boat untuk sewa masuk kesana kah?

    BalasHapus
  2. mba, boleh minta contact person boat buat sewa kdisana?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MM UGM Jakarta

Tanjung Keluang